Ia berhenti di depan etalase toko kosong, memandangi bayangannya sendiri di kaca. Mata hitamnya menusuk, tajam, tanpa beban yang berlebihan. Seseorang mendekat dari arah kanan. Langkahnya terhenti, percakapan tak terelakkan.
“Kenapa kamu selalu sendiri?” suara pria itu datar, sedikit mengintimidasi, tapi Chiko hanya melirik sekilas.
“Karena ramai terlalu melelahkan,” jawabnya, singkat.
Pria itu mendengus. “Nggak bosan hidup tanpa orang lain? Hidup terlalu sunyi.”
Chiko mengangkat bahu, seperti beban dunia terlalu kecil untuk disentuh pikirannya. “Kalau kamu butuh orang lain buat merasa hidup, itu masalahmu. Aku tidak punya urusan dengan itu.”
Pria itu tertawa kecil, getir. “Kamu pikir kamu lebih baik dari kami, ya? Lebih hebat?”
Chiko menoleh sepenuhnya kali ini. Tatapannya dingin, tak ada emosi. “Tidak. Aku hanya tahu apa yang aku mau. Dan itu bukan jadi seperti kalian.”
Obrolan selesai. Pria itu menggerutu, berjalan menjauh, tertelan bayangan kota. Chiko kembali diam, merasakan sunyi yang justru menenangkannya. Baginya, dunia adalah panggung penuh kebohongan, dan ia tak ingin menjadi pemain. Keputusan itu, bagi orang lain, mungkin aneh. Bagi Chiko, itu satu-satunya jalan.
Langit mulai memerah di ufuk timur. Dengan sekali tarikan napas, Chiko melangkah lagi. Bukan menuju sesuatu, tapi sekadar bergerak maju. Ia tak mencari apa-apa. Sunyi, kekosongan, kesendirian, semua itu adalah kebebasan yang ia pilih. Dan di antara keramaian yang sia-sia, Chiko menemukan dirinya.
Ia tak butuh dunia. Dunia mungkin tak memahami, tapi ia tak peduli. Chiko adalah sunyi yang hidup.
